Dari Kumpulannya Yang Terbuang
Aku Kecantol Wanita Jalang
Demi Tubuhnya Kuhambur Uang
Gejolak Hasrat Nafsu Berpetualang
Membuat Masakan Di Rumah Terasa Kurang
Aku Anak Manusia, Aku Anak Malang
Affairku Akhirnya Tercium Orang
Karir Sukses Agency Akhirnya Hilang
Karena Ada Kelemahanku Yang Bisa Diserang
Semuanya Hancur Gara-gara Selembar Kutang
Kepada Siapa Aku Pantas Berang?
Semua Kesalahan Kulimpahkan Kepada Si Jalang
Tetapi Sebenarnya Godaan Si Wanita Jalang
Takkan Mempan Kalau Akunya Sendiri Tidak Jalang!
Kesadaran Selalu Datang Menjelang Petang
Kini Yang Ku-punya Tinggal Tulang
Tapi Sebelum Aku Berpulang
Aku Ingin Berpesan Kepada Sesama Hidung Belang !
Kiamat segera datang.......!!!!
Tobatlah mulai sekarang......
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku
selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
Aku; aku, kamu; Chairil
Aku bukan kamu
Walaupun akunya kamu
Kamu juga akunya aku
Padahal aku kamu banget gitu loch
Kamu pun aku banget-banget abeees
Aku aku, kamu kamu
Kamu kamu, aku aku
Semau mauku
Semau maumu
Biar aku padamu, selalu
Kali kali aja kamu juga padaku,
Bisa jadi aku kekamu-kamuan
Dan kamu keaku-akuan
Abisan
Kebetulan
Jangan-jangan
Tahun depan kita seumuran
Namun
Apabila
Sementara
Diantaranya
Maka dari itu
Oleh karena
Daripada
Meskipun
Bagaimanapun
Walaupun
Sekalipun
Kamu mengaku-aku
Aku tetap bukan kamu
Aku takkan pernah kamu
Aku; aku, kamu; Chairil
Teater daun, 27 Februari 2005
hisaplah rokokmu dalam dalam
sebentar lagi akan datang puisi
Duduklah di situ khairil
aku sedang dalam perjalanan menjemputi puisi puisi
mereka tersebar di sekeliling kota
Masih berapa batang ada sigaretmu?
kalau begitu tentu masih cukup buatmu menelan pemandangan
dan membuatnya jadi puisi yang merindang teduh sampai sana
sungguh
aku hanya berkeliling menjemputi cecer puisimu
tanpa berusaha menjadi salah satu dari mereka
tunggu ya
5 maret 2005
idaman andarmosoko
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalan
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pembangoenan,
No. 1, Th. I
10 Desember 1945
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap